Eksperimen Gerimis

Eksperimen Gerimis

Hai, masih kebawa euforia datangnya musim hujan nih. Meski nasib awak kurang beruntung karena beberapa hari ini cuman dapet mendung dan gerimis amat-sangat-tipis sekali, seringnya cuman mendung, angin dan baunya aja, tanpa ada setetes air pun yang jatuh. Bahkan hujan di Surabaya masih php, mendungnya pun begitu, malu-malu.  So, here’s my potions for those who already miss the sense of rain too much. I’ll give you some combination of links that you can try. Anyway, I find it’s a lil bit tricky when we’re combining the sounds of rain and the senses of music we like. Sometimes when it’s not fit on it, it may turns out being noisy and uneasy to listen. Well, now let’s try. 😀

First: open senandung gerimis
Then open one of my recommendation below:

L’alphalpa, real deep and relaxing 🙂
Somewhere in Narnia
Teduh tenang 🙂
Along with Bay
Deruman Silampukau 🙂
Love IU
White lips, pale face, breathing in snowflakes 🙂
Call it true love
Kodaline, The One 🙂

Have you ever had a feeling, that you’re not alone?
Semesta bicara, tanpa suara 🙂
I wanna marry you 🙂
Rumah kosong, sudah lama ingin dihuni 🙂
Ajari aku

Untuk saat ini itu dulu beberapa tracks yang saya rekomendasikan. Untuk instrumental music maaf baru satu yang dicantumkan. Mungkin nanti akan ada sesi selanjutnya. Mungkin. Heheh Dan fyi, urutan mereka tidak menunjukkan preferensi kesukaan saya, karena menurut saya yang saya cantumkan di atas enak semuanyah. So, feel free mau klik dari urutan mana aja. 😉

“Jangan lupa atur volume di kedua jendela, karena kalau tidak pas bisa jadi fail.”

Oya, memang akan ada titik-titik pada nada lagu ketika suara hujan kalah mendominasi dengan musik, begitupun sebaliknya. Namun justru dari permainan nada itulah sensasinya. Tips supaya sensasi tidak hambar, mainkan satu kombinasi dalam satu waktu dan berikan jeda di antaranya. Maksud saya, jangan mainkan semua playlist dalam waktu beruntutan, beri jeda dengan matikan sound gerimis beberapa waktu. Karena kalau kebanyakan, bikin telinga sakit juga, apalagi kalau dengerinnya pakai headset. Dan memang direkomendasikan untuk pakai headset biar semua ketukan instrumen kentara. Kesimpulannya, sensasi ini bukan untuk dinikmati secara menerus. Hanya 2-3 lagu saja dengan rainymood, selanjutnya normal, lalu kombinasi lagi, normal lagi, dan begitu seterusnya. Sesekali beri istirahat telinga karena kebanyakan pakai headset juga ga sehat. Saya sudah coba tanpa headset, masih cukup terasa dengan baik inshaaAllah. 😀
Berbicara mengenai permainan nada ini, sebenarnya bisa dikombinasikan dengan hampir semua lagu yang bergenre jazz, blues, akustik dan pastinya indie. You may give me feedback if you find any recommendations too. Mari bereksperimen dengan musik dan gerimis, kawan. Selamat bersenandung. 🙂

//r

//r
11.
This is the month when some doors of memories lost their keys.

Ini adalah musim ketika langit menjadi begitu kelabu, dan udara menjadi begitu sendu.

Ini adalah musim ketika langit menjadi begitu berat, dan cuaca dingin menjadi sangat pekat.
Ini adalah musim ketika hujan bisa memanggilmu kapan saja dan membawa kita ke suatu tempat rahasia, di antah-berantah.
Ini adalah musim ketika senja menjadi sangat romantis, lebih dari biasanya.
Ini adalah musim ketika malam-malam tak lagi selalu sunyi.
Ini adalah musim ketika rasa syukur terketuk lebih deras.
Ini adalah musim ketika semua orang tiba-tiba menjadi penyair.
Ini adalah musim ketika kita tak perlu mengunjungi kotak hujan sesering beberapa bulan sebelumnya.
Ini adalah musim tentang cinta.
Apakah ini juga musim tentang kita?

Welcome, my favorite weather. Welcome my sweet November. 🙂

Dieng Plateau. I’m in Love!

Dieng Plateau. I’m in Love!

IMAG0336Hello, pals. Let this post become my welcoming cheers! This new blog actually made nearly one year ago. But I haven’t got so much inspiration to write any post here, or simply had not enough intentions to do so. While my old walking-blog is already expired or just too alay. Selama ini juga masih memanfaatkan tumblr dan twitter yang konon basicnya micro-blogging. Sekarang mumpung ada niat dan bahan untuk ditulis, yuk kita garap. Hehe

[23 Oktober 2015]

Gonna have a journey with Gastro again! Sebelumnya saya mau bercerita singkat dulu tentang apa itu ‘Gastronome’. Gastronome (yang artinya pemakan segala) adalah semacam komunitas pecinta lingkungan yang lahir di lingkungan kampus arsitektur ITS. ‘Sedikit tapi militan’ itulah slogan kami. Sama seperti himpunan, kami juga memiliki nomor angkatan; angkatan saya adalah G-18, angkatan satu tahun sebelum saya G-17, dan seterusnya. Kegiatannya berkaitan dengan pelestarian lingkungan sekitar. Earth hours adalah salah satunya. Selain itu ada Warung Gastro alias nyangkruk, biasanya tiap Jumat malam. Setiap tahunnya kami mengadakan kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam. Tahun lalu kami berkunjung ke Goa Pindul dan Pantai Indrayanti, Gunung Kidul, Jogja. Tentunya kami tidak menginap di hotel melainkan di tenda. Bisa dipastikan, tidur beralaskan tanah beratapkan bintang ditemani suara debur ombak dan angin malam, jauh terasa lebih nikmat dan romantis, iya ngga? 😀

Vakansi Gastronome kali ini ga lagi ke pantai tapi ke gunung. Kami memilih Dataran Tinggi Dieng atau biasa disebut Dieng Plateau sebagai destinasi utama kami. Persiapan tentu tidak dilakukan satu-dua jam saja. Anggota aktif atau biasa dipanggil Aktivis Gastro, melakukan perumusan rancangan perjalanan jauh-jauh hari. Mulai dari estimasi biaya, peserta, akomodasi, peralatan, konsumsi dan sebagainya termasuk obat-obatan P3K. Dan tentunya, saya hanya berperan sebagai tim hore saja . Wkwk *maafkan aku, geng*

Kami berkumpul di plasa hima pukul 7.00 malam. Diwajibkan sudah selesai makan malam karena bus tidak akan berhenti untuk mencari warung nanti malam, melainkan esok pagi. Kami sudah membawa seluruh perlengkapan yang diperlukan di dalam ransel. Tak lupa bawa galon, tenda, kompor, nesting, dkk.

Singkat cerita setelah segala fiksasi dan checking tim serta barang kami memasuki bus mini yang berisikan 31 orang dengan 1 driver alias supir dan 1 co-driver alias kernet. Kami memulai titik perjalan kami menuju Wonosobo dari depan Masjid Manarul Ilmi, masjid kesayangan arek ITS. Tepat pukul 08.29 bus mulai melaju. Perjalanan dimulai dengan tenang. Tak banyak kehebohan di dalam bus. Selain karena itu hari Jum’at yang notabene hari deadline-nya anak arsi ITS, hari itu orang-orang terlihat sedikit lelah. Memang akhir-akhir ini kegiatan seperti tidak ada tenggatnya. Hampir tiap weekend selalu ada jadwal yang menanti. Ya begitulah, sedikit curcol masa-masa pertengahan semester.

Kami isi saja dengan ngobrol dan bergurau sekadarnya, sesekali tertidur-terbangun-tertidur lagi. Oya, tips bila menempuh perjalanan jauh dengan bus jangan lupa sedia USB/flashdisk berisi lagu yang enak didengar. Seenggaknya tidak bergantung pada stock pak supir yang kebanyakan adalah dangdut koplo. Not that I’m a hater but I just don’t into it, dan kurang nyaman juga kalo didengar sambil tidur. Hehe

Kurang lebih pukul 12 lebih sekian menit, saya terbangun dari tidur dan melihat ke arah jendela, berasa sedang berada di antah berantah. *kemudian musik Banda Neira bersenandung lirih*

[24 Oktober 2015]

Tidak terasa dini hari kami sudah memasuki wilayah Jawa Tengah. Entah di bagian mananya, yang jelas suasana sudah terlihat berbeda. Jalanan Jawa Tengah terkesan lebih sunyi dan jarang pepohonannya dibandingkan Jawa Timur. Kami berhenti di sebuah Masjid di Solo untuk sholat subuh. Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan, ditemani si manis hangat, mentari pagi.

Padahal semalam sudah makan, dan hanya duduk-tidur-ngobrol-main handphone saja, namun tetap saja pagi-pagi terasa lapar perutnya. Saya pun melahap roti dan teh botol untuk mengganjal perut. Bus berjalan dengan kecepatan sedang dan bagi saya serta beberapa teman, busnya cenderung sangat lambat. Saya kebetulan duduk di belakang pak supir pas, sempat mengintip speedometer-nya, hanya 40km/h, bung! Tidakkah itu terlalu lambat untuk ukuran mini bus di jalan yang lengang-lengang saja? 😦

Tak ayal, jadwal kami pun menjadi molor dan berantakan karena waktu tiba tidak sesui dengan estimasi. Seharusnya pukul 10 tepat kami sudah berada di lokasi pertama. Namun ketika pukul 11.00 kami masih menuju ke lokasi makan siang, sekalian sholat dhuhur. Dapat dipastikan ada satu lokasi yang nantinya tidak sempat kami kunjungi.

Sore kira-kira pukul 14 kami sampai di Telaga Warna. Jangan ditanya keindahannya. Buatku apapun yang berwarna biru, hijau ataupun tosca selalu menakjubkan! dan di sini, Telaganya berwarna biru tosca kehijauan. 😀

Hidden Paradise, Telaga Warna Dieng
Hidden Paradise, Telaga Warna Dieng
mehehe :3
mehehe :3

Sejalur dengan Telaga Warna, kami juga mengunjungi hutan Batu Tulis, yang ajaib keindahannya. Berjalan di jalan setapak dengan pepohonan teduh, saya dihinggapi perasaan seperti sedang berjalan di sebuah lorong/labirin menuju ke hutan rahasia atau negeri semacam Narnia. hehe

Selanjutnya kami langsung menuju lokasi camp ground. Keburu kesorean. Karena semakin gelap akan semakin sulit memasang tenda. Apalagi di medan yang masih baru. Dari Telaga Warna ke lokasi camp ground, kami berganti kendaraan dari mini bus menjadi Elf. Karena mini bus tidak kuat menaiki tanjakan. Apalagi di tengah rute sedang ada perbaikan jalan kata si bapak supir. Memang benar, di tengah perjalanan menuju puncak kami menemui penyempitan jalan dikarenakan perbaikan jalan. Kebayang seramnya kan? Udah jalanan berkelok dan sempit, kanan kita tebing curam, jalannya dibikin makin sempit lagi. Di situ kami cuma bisa berdoa supaya selamat sampai tujuan. Alhamdulillah tepat menjelang maghrib, kami sampai di lokasi kemah! yay!

Di lokasi perkemahan kami disambut dengan sejuknya semilir angin gunung dan tenangnya air Danau Kecebong. 🙂

4 serangkai G-18 yang ikutan (Indah, Hanyum, Epi, Me)
4 serangkai G-18 yang ikutan (Indah, Hanyum, Epi, Me)

Setelah sholat dan istirahat sejenak, kami pun bersiap-siap memasang tenda. Sebelumnya kami sempat membeli kayu bakar di sekitar arena perkemahan sembari melihat-lihat spot mana yang pas buat tenda kami nanti. Kami memasang 1 tenda besar untuk laki-laki dan 3 tenda sedang untuk perempuan. Sudah lama ga pegang pasak, alhamdulillah masih kuat nancepin pasak dibantu dengan batu kecil. Meskipun tanahnya lumayan keras dan berbatu. Gara-gara habis makan kali ya? 😀

pasang-pasang pasaknya yuk :3
pasang-pasang pasaknya yuk :3

Setelah kurang lebih setengah jam penuh kami berkutat dengan pasak, tenda, kayu, tali, batu bahkan korek serta berbagai macam peralatan tukang lainnya akhirnya tenda kami pun berdiri anggun sedikit sempoyongan karena ada tenda yang tiang dan pasaknya hilang entah kemana, dan karena angin gunung senja hari begitu agresif. Dingin, euy!

Setelah masang tenda, dan menata barang-barang, apa lagi kalo bukan masak-masak dan bikin api unggun. Dinginnya dataran tinggi Dieng membuat pop mie maupun kopi hangat terasa nikmat bukan main. Kami membawa 2 kompor portable mini yang memudahkan kami buat memasak. Sedangkan api unggun buat anget-anget-in badan. Ada lagi nih ulah yang dibuat si mas Abay, gegara dia lupa naruh minyak gas di botol dan ga misahin dari kardus bahan makanan, alhasil si plastik minyak tanah bocor dan tumpah. Untung beberapa bungkus bahan makanan instan masih bisa terselamatkan dengan bantuan Sunlight. wkwk

Makin malam makin kerasa nih dinginnya. Aseli dingin banget. Saya yang cinta setengah mati sama udara dingin aja gemeteran. Nekat ga bawa sarung tangan membuat sedikit penyesalan. Untung masi bawa kaus kaki dan jaket parasut tebal. Isya kami sholat berjamaah di musholla dekat perkemahan. Pas wudhu, brrr, bro….airnya bro.... Ngga tau deh itu air es kali ya. Kulit udah ga kerasa. Maap alay tapi emang dingin banget. Batu ga ada apa-apanya. :”

Seusai sholat isya, kami melingkar di api unggun sambil makan nasi yang kami pesan di warung dekat perkemahan. Ga lupa minum teh anget. Kelar makan, kami lanjut main kartu sambil bercengkerama menghabiskan malam. Sekitar jam 9 satu per satu yang balik ke tenda masing-masing, tidur dan persiapan muncak nanti subuh.

I can tell you that the most unforgettable moment about camping in the mountain is when you’re sleeping inside a sleeping-bag and feeling so cold till you miss your home or even your kost-kostan yang sumuk.

Saya ga bisa bobo nyenyak karena lupa pakai kaus kaki. Berguling kesana-kemari. Dingin semua. Akhirnya pukul 1 saya terbangun dan menyerah, membuka tas ransel di luar tenda demi memungut sepasang kaus kaki dan tak juga berhasil tidur kembali karena udaranya menusuk tulang. Literally menusuk tulang ini mah. 😀

OYA! Saudara-saudara sekalian ga bakal nyesel kedinginan di puncak Dieng karena….. bintangnya banyaaaaaaaak banget. Serius! Ya.. seperti langit puncak pada umumnya, namun entah mengapa langit di Dieng kala itu bintangnya ga karuan banyaknya. More than what I saw in Gunung Penanggungan. Sampe terlihat samar-samar gugusan galaksi milky-way yang biasanya cuman terlihat jelas lewat kamera SLR. Sayangnya ga ada fasilitas buat motret itu bintang-bintang. Cukup direkam lewat lensa mata aja. We were stargazing with the warmth of bonfire and family. Geez, that was too sweet and beautiful! 🙂

[25 Oktober 2015]

anget-angetan :D
anget-angetan dulu, photo taken by mbak Safana 😀

Sekitar pukul 2.45 kami bangun dan keluar dari tenda, menyalakan api unggun lagi, menghangatkan diri. Sempet ke toilet juga. Aseli airnya…. :” kulit udah ga ada rasanya wkwk setelah puas ngangetin diri (re: bikin popmie, kopi, ngerumunin api unggun, ketawa-ketiwi tipis-tipis, dsb) akhirnya kita memulai langkah ke Puncak Sikunir sekitar pukul 3.45.

Sebenernya lebih bisa disebut bukit karena tingginya relatif rendah untuk ukuran puncak. Tapi mungkin karena letaknya di atas dataran tinggi Dieng, jadi dinginnya bukan main. Pejalanan menuju Sikunir relatif lancar. Kami cuman berhenti 2 kali, pertama di pos 1 buat ngatur nafas sama minum, kedua di musholla deket puncak bayangan Sikunir. Wow! ada musholla di atas bukit terjal seperti itu. They must be worked really hard on it. Salut lah. Ada juga yang jualan makanan, minuman, dan berbagai perkakas penghangat tubuh di beberapa titik jalanan menuju puncak. Yang naik ke Sikunir juga ternyata sangat universal. Bahkan ada dedek-dedek masi usia 5 tahunan diajakin bapaknya ndaki. Ckckck mantap. To be concluded, ini rute perjalanan yang cukup ramai. Apalagi waktu itu bertepatan dengan weekend.

Sekitar pukul 4.30 menjelang subuh kami berhenti di musholla. Istirahat sejenak dan sholat. Sekitar 15 menitan kami berhenti. Namun ternyata langit udah mulai memerah. Tandanya sebentar lagi si Golden Sunrise andalan Sikunir akan muncul. Kami melihat ke track ke arah puncak, daan… ramai sekali sungguh. Ternyata gunung bisa macet juga. wkwk

Akhirnya kami memutuskan untuk melihat sunrise dari titik puncak bayangan Sikunir. Kami menunggu tak begitu lama. Namun jangan salah, meskipun cuman dari puncak bayangan, tapi sunrise di Sikunir emng pas banget sama namanya, “Golden Sunrise.” Keren. Sayangnya saya kehabisan baterai handphone dan tak bawa kamera. Apa daya tak sempat merekam di lensa digital. Namun mengingatnya dalam memori cukup membuat ingin mampir kesana lagi. Belum puas. Masih penasaran sama view dari puncak yang lebih tinggi. Yang jelas keindahan pemandangan dari puncak Dieng ga bakal bisa digambarkan dengan metafora seindah apapun. Semakin kita mengamati proses naiknya si merah jingga, semakin dalam kita berkontemplasi tentang keberadaan-Nya. Walaupun silau, tapi ga ada niatan buat melewatkan sedikit pun momen bergantinya subuh ke fajar hingga ke suluk, yang cuman berlangsung dalam hitungan sekian detik aja. 🙂

The Golden Sunrise from Sikunir
The Golden Sunrise from Sikunir, 2.448 mdpl

Masih banyak yang pengen diceritakan tapi koneksinya ga mendukung. :” Termasuk koleksi Edelweissnya. Memang di beberapa taman nasional atau titik pendakian di Indonesia, pemetikan/perdagangan flora unik satu ini udah dilarang keras. Namun, di Dieng engga, karena mereka punya program budidaya swadaya dari masyarakat sekitarnya. Jadi banyak banget yang jualan bunga ini. Biasanya sudah dirangkai manis permanen dengan vas mini dari kayu. Oya, sepulang dari bersuka ria, kedinginan, berhangat-hangatan, kelelahan, terpana-pana, ga lupa dan ga afdol kalo ga nyobain kulinernya! Buat yang merencanakan buat berkunjung ke Wonosobo, wajib banget nyobain carica (semacam manisan/olahan buah khas dieng, segerr!), ayam salto (semacam ayam geprek tapi lebih asoy di lidah, manis-asem-pedes jadi satu disajikan pake kulupan), ayam taliwang (pedesnya ga normal), mie ongklok (manis-gurih-menggugah selera), tempe kemul (semacam mendoan/gimbal), kentang gunung rebus, dan kue santan. Ah jadi pengen kesana lagi. Semoga bisa kesana lagi di lain waktu. Aamiin. Dieng Plateau, I’m in love!

Pagi di Bukit Sikunir
Pagi di Bukit Sikunir, taken by mbak Safana juga 😀
Sebelum kembali ke negeri tiga matahari :
Sebelum kembali ke negeri tiga matahari :”

Wawan Hadi Prabowo dan Lensanya

Kata seorang fotografer di ask.fm, “Semakin foto itu bikin orang jadi baper, berarti semakin bagus foto kamu.” Hmm entah kebetulan atau tidak, namun quote ini seakan muncul di saat yang amat tepat. Yaitu di saat saya sedang terbawa perasaan akibat menjadi peserta kelas fotografinya Kak Wawan Hadi Prabowo. Bukan berarti sesuatu yang lain tentunya. Maksud saya terbawa perasaan disini adalah, saya masih terkagum-kagum dengan karya fotografer yang satu ini. Mungkin nama beliau tidak begitu dikenal khalayak umum karena memang ia bekerja di balik layar. Ia telah bekerja untuk Harian Kompas selama kurang lebih 10 tahun dan sebelumnya juga sempat menjadi fotografer di harian lainnya. Karya-karyanya telah banyak menghiasi dan memberi ‘nyawa’ pada tulisan-tulisan berita di laman Kompas.
Pada kelas kilat kala itu, Ia bercerita singkat mengenai karirnya selama menjadi fotografer di Kompas. Awal mulanya dia bertugas untuk mengisi kolom Nusantara. Penjelasan pada sesi pertama kali ini dihidupkan dengan penampilan video yang berisi slide foto-fotonya. Tema Nusantara yang diangkat oleh foto-foto tersebut disajikan dengan iringan lagu berjudul Jangan Menyerah milik D’Masiv. Tentu buat orang berhati lemah seperti saya langsung dibuat jatuh saat menyaksikan penampilan video tersebut. Foto-foto yang diambil oleh Kak Wawan sangat luar biasa. Seakan mereka bisa bercerita tanpa perlu diberi ulasan berita. Sangat menyentuh dan natural. Gamblang namun sarat makna. Seketika saya langsung merinding dan tak rela memalingkan mata dari layar proyektor. Saya rasa hampir keseluruhan peserta juga merasakan hal yang sama. Baiklah, saya tak salah pilih kelas. Ini benar-benar kelas audio-visual yang tipikal ‘aku banget’ buat saya. Mari kita lupakan pena dan mini-note sejenak dan kita nikmati presentasi dari dewa fotografer murah senyum di depan kita kali ini. Hahaha
Selanjutnya Kak Wawan menjelaskan tentang foto-foto akhir pekan masyarakat. Foto-foto tersebut kebanyakan adalah karyanya ketika mendapat tugas untuk mengisi kolom Hari Sabtu Minggu. Kali ini foto-fotonya lebih ekspresif dan serasa ‘keseharian banget’. Contohnya ada foto yang menampilkan badut di tengah-tengah kerumunan anak kecil. Ia mendapatkan foto tersebut secara tak sengaja ketika ia sedang berjalan santai. Dari situ saya makin yakin bahwa kreatifitas adalah sesuatu yang sangat berharga dan tak terbatas. Kita bisa menggunakannya, menciptakannya kapan saja kita perlu dan tahu sesuatu. Seperti pepatah yang sering terngiang di benak saya, “You can’t tie down the clouds or bottle up the winds. Being free is what the art should be.”
Setelah beberapa tahun berkarir untuk kolom akhir pekan, Kak Wawan akhirnya dipindah di Kolom Politik. Ya begitulah katanya, “Penuh drama!” ucapnya sambil disambut tawa peserta. Membayangkan para fotografer yang membawa kamera profesional (kamera yang beratnya sekian-sekian kilogram itu) di tengah kerumunan massa demi mendapatkan gambar seorang koruptor. Oh well. Cukup memberi tekanan. Namun begitulah para jurnalis itu bekerja. Mereka menemukan cerita dibalik tiap tekanan yang mereka temui, dan karena cerita adalah nafas bagi mereka, maka peluh di tengah sesak seperti itu bisa jadi sebuah keseruan yang punya citarasa tersendiri. Peluh yang akan terbayar oleh ekspresi, pesan dan cerita bisu yang disampaikan oleh foto-foto mereka pada akhirnya nanti; dan seperti kata Ed Sheeran di lagunya yang berjudul Photograph, “And times are forever frozen still”. Yap. Bila bagi Eyang Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu pulalah bagi para fotografer.
Selanjutnya Kak Wawan menyampaikan ceritanya ketika bergabung di kolom yang sekarang menjadi garapannya, Kolom Olahraga, yang konon katanya adalah kolom impian para fotografer jurnalistik. Foto-foto yang dibingtangi oleh para atlet itu tentunya punya kadar ekspresi yang sangat tinggi. Namun menurut dia, human-portrait adalah foto yang paling sulit. “Dari semua foto itu ya ini yang paling sulit. Bagaimana kita harus memposisikan seseorang yang tidak selalu berada di depan kamera bisa tampil nyaman, pas dan natural di dalam lensa. Kalo udah yang sulit banget, bisa juga saya seharian cuma menggarap satu objek foto.” jelasnya sambil menunjukkan slide foto-foto portrait manusia, yang sekali lagi menurut saya, sungguh ciamik. Demikian kelas singkat itu ditutup oleh Kak Wawan yang selanjutnya disambung dengan sesi tanya-jawab dan tentunya, jeprat-jepret. Sungguh hari yang mengesankan.(az)(*)

(*)Hmm, ngomong-ngomong saya menangkap sebuah pesan tersirat dari pendapat Kak Wawan mengenai human-portrait. Manusia dan karakteristiknya yang sulit ditangkap bahkan oleh si manusia itu sendiri. Seperti bagaimana persoalan humaniora lainnya, dimana manusia menjadi subjek, objek dan imbuhan dari tiap permasalahan. Manusia sebagai makhluk yang sejatinya tak pernah bisa hidup sendiri namun terus berdesak-desakan dalam urusan dunia untuk kepentingan mereka sendiri. Manusia yang hidup dalam batas tipis antara fatamorgana dan realita. Manusia dan sisi kehidupannya bagaimanapun juga pasti akan meninggalkan masalah, tak hanya bagi lensa para fotografer itu, namun juga bagi lensa tiap makhluk yang hidup berdampingan dengannya. Manusia dan wataknya bagaimanapun juga pasti akan menampakkan problematika, tak hanya bagi lensa para fotografer itu, namun juga bagi lensa-Nya. Manusia dan efek kewalahan yang ditimbulkan olehnya.

[Kutipan Tokoh]

Institutio puerorum, reformation mundi.

Sebuah peribahasa latin kuno yang artinya: “Pendidikan yang baik bagi pemuda merupakan usaha yang baik untuk mengubah dunia”

Kutipan ini saya dapaatkan ketika mencari tahu tentang sesosok jurnalis favorit saya, Kak Rosi.

“Ketika bersekolah di Santa Ursula, saya selalu ingat pesan kepala sekolah saya dahulu, Sr. Francesco Marianti OSU. Beliau mengatakan: “Apa gunanya kalian pintar tetapi tidak menjadikan ilmu yang kalian miliki bermanfaat untuk sesama?”. Kalimat ini begitu kuat dan menjadi pedoman saya. Pintar saja tidak cukup untuk menjadi diri sendiri. Saya dan kita semua meyakini bahwa pendidikan itu tidak hanya bertujuan melahirkan generasi yang pandai di mata pelajaran sekolah, tetapi juga untuk mendidik para siswa agar dapat mengembangkan dirinya dengan kekuatan karakter sekaligus kepekaan sosial untuk kemajuan – tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga banyak orang. Pendidikan adalah upaya kita untuk melahirkan generasi yang tak pernah berhenti menjadikan dunia lebih baik.”Rosianna Silalahi, Praktisi Media

Satu Lagi dari Arsitektur – Futuristik

Seperti apa kiranya arsitektur masa depan? Bayangkan ketika era penjelajahan ruang angkasa telah demikian majunya? Ir. Jimmy Priatman, M.Arch pada sebuah event, ‘Campus to Campus’ yang diselenggarakan oleh Indonesia Design menyebutkan bahwa terdapat kajian baru dalam bidang arsitektur-futuristik tersebut. Kajian terbaru ini berjudul Aerospace Architecture. Cabang ini mengkhususkan diri meneliti dan mengembangkan model-model bangunan untuk tempat tinggal manusia yang sedang beraktivitas di ruang angkasa, baik yang mengorbit di ruang Interplanetary Space (>2000km di atas permukaan bumi) maupun yang berada di atas permukaan sebuah planet selain bumi. Dimulai sejak didakannya World Space Congress 2002 di Houston, US oleh The American Institute of Aeronautics and Astronautics (AIAA) yang diikuti oleh ilmuwan, teknisi dan arsitek, menghasilkan kriteria untuk rancangan Aerospace Architecture. Polanya didasarkan pada kemampuannya untuk dapat dibongkar pasang dengan mudah (sustainability), biayanya yang relatif ringan (cost), tingkat keamanannya/kemampuan untuk melindungi si penghuni dari partikel ruang angkasa (life-safety) dan juga tingkat kemudahan perawatannya (life cycle).

Sementara secara struktural, Aerospace Architecture juga mensyaratkan sebuah produk rancangan arsitektur yang secara kinematik/mekanismenya mampu merekonstruksi dirinya sendiri atau mampu mengubah tatanan strukturnya kapanpun dibutuhkan. Konsep kinematik ini diambil dari ide permainan anak-anak; Lego. Permainan lego merupakan permainan bongkar pasang dari bongkah-bongkah plastik yang bisa dibentuk sesuai keinginan si pemain. Jenis konstruksi ini juga diyakini sebagai cikal bakal bentuk masa depan dari material berbasis prefabrikasi.(*)
(*)disadur dan disunting dari artikel di Majalah Indonesia Design Vol.3 No. 14 Tahun 2006 dengan penyesuaian.

[Kutipan Kuliah]

“Jangan takut mengikuti arah kiblat sebagai orientasi fasad muka bangunan ketika merancang masjid. Malah ketidakberagamannya dengan lingkungan sekitar itu yg nanti akan menjadikannya terlihat semakin unik.”

Pak Baskoro, sang maestro; yg punya banyak sekali karya keren. Bahkan sebelum sketchup selumrah saat ini, beliau sanggup menyajikan gambar perspektif 3D hanya dengan MS WORD! seandainya si pembuat ms word itu menemukan beliau, mungkin dia juga akan terpana tak habis pikir melihat desain-desainnya dengan media itu. Sebentar lagi beliau akan pensiun. Adalah sebuah kesempatan yg sangat berharga pernah menjadi murid bimbingannya. :”

Do we dwell poetically today? [an abstraction from Michael Hays]

Poetry preserves (in the non-being of its word) that tectonic element of
architecture to which the edifice, in so far as it participates in the devastation of the earth, can only allude tragicomically. This characteristic reversal of Heideggerian disenchantment— or better, this oscillating dialectic between Andenken as tragic theory and Andenken as nostalgic pro-position, which I have analyzed elsewhere14—seeks a foundation for the building-dwelling-building cycle in a late poem by Ho¨lderlin, In leiblicher Bla¨ue.
The essence of the poem consists for Heidegger in the affirmation “dichterisch wohnet der Mensch”—poetically man dwells. Dwelling is thus grounded in poetry. The building that dwelling allows is poetic: to build is to make poetry, its doing is poiesis.
The essence of writing poetry is a measure-taking, “in the strict sense of the word, by which man first receives the measure for the breadth [Weite] of his being.”
This measure is God, not as he is known in himself, but as he is manifest in the heavens. The divinity is absent as such, but precisely as hidden he is manifest in the heavens. The heavens manifest the divinity as unknown: and this relation measures the being of man—it is the measure of poiesis. In this measure man
dwells—in it, he is a “dweller.” “Poetry builds up the very nature of dwelling.”
Only if man builds, in the sense of the poetic taking of measure, does he dwell. If he dwells, man dwells poetically.
Do we dwell poetically today? Heidegger is quick to point out that Ho¨lderlin does not speak of the real conditions of modern dwelling. He adds that the poetic taking of measure is foreign to us today, and that only our intuition
of poetry enables us to experience the fact that today we dwell in a totally unpoetic world: undichterisch wohnet der Mensch. But the reversal of this condition is explicitly hoped for.

The attention turned upon the poetic permits hope. Ho¨lderlin’s lines are commented upon with this in mind but in my opinion, however, this intention seems to be totally lacking. At the beginning of the poem the unconcealedness of a place is described: the church’s tower “blossoms into sweet azure”; “like doors to beauty” are the windows from which the bells ring. So “simple and sacred” (einfa ¨ ltig und heilig) are the images (Bilder) “that often I truly fear to describe them.” This is the place of dwelling—it is the fourfold. But man may measure himself against it only “as long as Kindness, the Pure, still stays with his heart” (so lange die Freundlichkeit noch am Herzen, die Reine, dauert). Freundlichkeit, as Heidegger makes clear, is the translation of ka`ris, a condition of mutual belonging between man and landscape, man and home. But the measure of which Heidegger speaks is only possible here, in the poem. On the earth that has destroyed the bridge along with the other elements of the Geviert, on this earth no longer “beneath the heavens,” no measure is conceivable. “Is there a measure on earth? There is none.” (Giebt es auf Erden ein Mass? Es giebt keines.) Man’s living-as-dwelling, the wohnend Leben, fades into the distance, in die Ferne geht. It does not call him back,
but detaches him—it is not reclaimable, it is conceivable only as form, form that
measures difference. Undichterisch wohnet der Mensch… . The manifold forms of this undichterisch wohnen comprise the subject of Tafuri and Dal Co’s “history.” Dichterisch wohnen is never directly named, but it is the “absent form” that makes possible the critique of the ideology of the home and the ridiculous claims that architecture puts forth (which are architecture itself) regarding the reconciliation of man and landscape, man and city.(*)

(*)Source: K. Michael Hays-Architecture Theory since 1968-The MIT Press (1998)

#architectural theory#philosophical architecture#poetic dwelling

[viel Erfolg]

Kau tahu hal yang kusuka dari kabut?
Tingkah liciknya yang sembunyikan pemandangan. Tingkap jejaknya yang mengulur rasa penasaran.
Kau tahu hal yang kusuka dari pinus?
Dedaunannya rancak tegas setajam jarum. Bijinya merdu serasi buat ornamen. Gigih kokoh batangnya tumbuh di pundak-pundak pegunungan; dan gunung? kau tahu sendiri payahnya otot kaki yang keukeuh merindu puncaknya.
Kau tahu hal yang kusuka dari kayu?
Teksturnya mendamaikan bangunan dengan alam. Karena arsitektur Indonesia adalah arsitektur kayu.(*)

(*)Perhatikan semua jenis rumah adat tradisional yang ada di Indonesia. Mereka semua menggunakan konstruksi kayu mulai dari pondasi hingga atap. Berbeda dengan bangunan tradisional Eropa atau Timur-Tengah yang menggunakan konstruksi batu. Kayu-kayu yang digunakan tentu berbeda tiap daerahnya karena komoditas spesies utama yang berbeda tiap daerahnya. Konstruksi kayu juga erat kaitannya dengan iklim tropis nusantara. Ada nilai estetis sejuk namun hangat yang dihadirkan oleh tekstur kayu. Namun kini penggunaan konstruksi kayu memang sudah berkurang karena beton dan keramik lebih nyaman dan digemari. Meski demikian, kayu tetap digunakan sebagai penyelamat fasad bangunan, pemanis konsep naturalis-tradisional maupun konsep-konsep artistik lainnya. Terimakasih Prof. Josef untuk inspirasi dan kiprahnya dalam studi Arsitektur Nusantara. Kuliahmu selalu membuat kakiku gatal ingin berkunjung ke Wae Rebo hingga Ratenggaro, hm, atau Wakatobi mungkin? hehe Ah sudah, tak kan ada habisnya bila kita membicarakan surga dunia di Nusantara. Sayangnya biaya perjalanan ke titik-titik pedalaman itu tak murah, kawan. Beberapa bahkan lebih mahal dari tiket pesawat ke negeri tetangga. Namun satu hal yang perlu diingat, jiwa petualang tidak bermain lawan dengan keterbatasan, Ia justru berkawan karib dengannya. Selamat berjuang! 🙂

redirected back to: mistypinewood–